Jumat, 31 Oktober 2008

1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah mengenai sains dan agama memang sudah menjadi problematika yang masih polemic sampai sekarang[1]. Maslah tersebut akan membuka paradigma bagi para intelektual muda muslim untuk menafsirkan kembali firman-firman Tuhan, karena realitanya terjadi perbedaan konsep antara konsep ilmu pengetahuan dan konsep Agama.

Sebagai contoh adalah konsep ilmu pengetahuan dan agama mengenai maslah tata surya, dalam pandangan ilmu pengetahuan matahari adalah pusat cahaya sedangakan cahaya yang ada pada rembulan hanya pantulan dari cahaya matahari. Selanjutnya pandangan agama mengenai masalah ini mempunyai pandangan yang berbeda ada yang mengatakan kalau kedua-duanya mempumyai cahaya sendiri-sendiri dan ada pula yang mengatakan bahwa matahari adalah sebagai sumber cahaya sedangkan rembulan adalah pantulan dari pada matahari.

Perbedaan pandangan para sarjana muslim mengenai masalah di atas dikarenakan adanya perbedaan hasil interpretasi mereka yang berbeda-beda tentang firman Tuhan yang menyangkut masalah itu, karena teks-teks mengenai masalah itu memeng mempunyai makna-makna yang dalam dan adanya pembuktian secara rasional. Misalnya pada surat Nuh ayat enam belas dan surah Al-Furqon ayat enam puluh satu, ayat-ayat ini sebenarnya mengandung makna yang dalam kalau kita kaji baik itu secara semantic atau secara structural baik secara sarfiah, nahwiah atau secara balaghiah sehingga nanti di harapkan bisa menemukan makna yang sejati dan bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah tidak hanya secara normatife saja tanpa memandang secara ilmiah.

Pada dasarnya antara wilayah sains, agama dan filsafat itu mempunyai wilayah sendiri-sendiri sehingga mereka akan mempunyai ukuran kebenaran menurut pandangan mereka masing-masing. Akan tetapi islam sebagai agama yang sempurna dan rahmatallilalamin tetap tidak akan menerima begitu saja, karena masalah sains juga banyak disinggung dalam teks-teks Al-Quran. Kalau demikian masalahnya nanti akan timbul pertanyaan, misalnya seberapa jauh kebenaran agama yang bersumber dari firman Tuhan jika dibandingkan dengan kebenaran sains atau kebenaran filsafat.

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang di atas, maka maka penulis akan mencoba mencari makna yang terkandung dalam Al-Quran baik secara semantic, structural baik secara sarfiah, nahwiah atau pun secara balaghiah khususnya pada surah Al-Furqon ayat enam puluh satu.

C. Tujuan Penelitian

Berlanjut dari latar belakang di atas maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1) Menerjemahkan kembali teks Al-Quran yang bersinggungan dengan sains, kususnya surat Al-Furqon ayat enam puluh satu.

2) Mencoba menggali ulang kebenaran yang sudah dianggap final baik secara sains atau agama.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini InsyaAllah akan berguna bagi para calon ilmuan muslim untuk kembali mencari titik terang antara sains dan agama yang selama ini masih menjadi masalah yang polemik sehingga di harapkan para calon ilmuan muslim tidak hanya menerima begitu saja atau menganggap final konsep-konsep ilmiah yang telah dilegitimasi sebagai kebenaran mutlak atau dengan kata lain kita perlu berfikir skeptis artinya kebenaran sains yang telah diasumsikan sebagai suatu kebenaran yang final perlu kita ragukan kembali.

Selanjutnya bagi para calon ilmuan muslim yang mencoba mengintegrasikan dan menginterconeksikan antara sains dan agama tidak menerima begitu saja suatu teks. Akan tetapi bagaimana teks-teks Al-Quran bisa dibuktikan secara ilmiah, seperti konsep yang ditawarkan oleh Sir Muhammad Iqbal, yaitu meyakini, meneliti, dan menemukan.

2. PEMBAHASAN

1. Makna Semantik

Kata burujan ( ) berarti bola langit atau bintang. Kata qamira ( )makananya sangat putih. Makna qamaratun ( )adalah rembulan atau satelit.[2]

Kata naara ( ) artinya bersinar, sedangkan kata nurun ( )-jaalahu nuran artinya menyinari.[3]

Kata saraja/sarraja ( )artinya memperindah atau mempercantik. Kata siraajun ( )lampu pelita dan sirajullail ( )kunang-kunang.[4] Siraajun ( )artinya almisbah azzahir:lampu yang bersinar, bercahaya, putih, indah.[5] Kata naara( )maksudnya adalah asyraqa, yang mempunyai arti menghiasi, merah bercahaya.[6] Naara ( )adha’a maknanya menyinari.[7]

2. Stuktur Sarfiah

Kata tabaraka ( ) adalah fi’il tsulatsi mazid biharfaini, fi’il tersebut berasal dari kata baraka. Fi’il tersebut menggunakan sighat madhi berwazan tafaala yang artinya telah atau menggunaskan bentuk past.[8] Kata jaala-yajalu ( )berarti menjadikan, kata ini adalah termasuk golongan fi’il tsulatsi mujarrad artinya semua hurufnya adalah asli, kata ini juga menggunakan bentuk madhi. Buruujan ( )adalah isim yang berwazan fuulun ( ). Kata siraajaan ( ) adalah isim mufrad yang berwazan fialun ( ). Kata qamaran( )juga isim mufrad yang yang berwazan faalun ( ). Kata muniiran( ) kata ini adalah berbentuk(shighat)isim fail yang bermakna orang yang, kata muniran berasal dari fiil madhi anara-yuniiru ( )yang berwazan afala-yufilu ( )wazan ini mempunyai faedah litakdiah artinya mengaktif transitifkan.[9]

3. Struktur Nahwiah

Tabaraka ( )adalah fiil madhi dan setiap fiil itu harus mempunyai fail, fail dari fiil ini adalah kata alladz i( )alladzi adalah isim mausul yang mempunyai kosekuensi makna laki-laki satu. Jaala ( )adalah shilah dari isim mausul alladzi, karena setiap isim mausul itu wajib mempunyai shilah(penyambung) baik itu berupa jumlah ismiah atau berupa jumlah fi’liah.[10] Wajaala ( )adalah ma’tuf maktuf alaiih jaala fissamai, struktur ataf tersebut menggunakan adat ataf berupa wawu( )yang mempunyai faedah limutlakiljinsi atau mutlak kebersamaanya.[11] Kata burujan, qamaran, dan muniran semuanya adalah sebabai maful bih, semua kata tersebut adalah isim nakirah artinya isim yang masih mempunyai makana umum.[12]

4. Struktur Balaghiah

Kalimat yang terdapat dalam surat Al_Furqan ayat enam puluh satu adalah dalam bentuk jumlah fi’liah, secara balaghah kalimat di atas berbentuk kalam khabariah artinya kalam ini mempunyai dua konsekuensi makna yaitu antara benar dan bohong.[13] Ada empat pendapat mengenai kebenaran dan kebohongan:

a. Kebenaran adalah kesesusian antara realita dan khabar yang ada sedangakan kebohongan adalah ketidaksesuian anatara realita dan khabar.

b.Kebenaran adalah yang sesuai dengan keyakinan pemberi khabar meskipun kabar itu salah dan kebohongan adalah ketidaksesuian antara keyakianan dan pemberi khabar.

c. Kebenanaran kesesuian antara realita, keyakinan dan khabar yang ada sedangakan kebohongan adalah tidak adanya kesesuain antara khabar, realita dan keyakiaan.

d.Kebenaran adalah kesesuian realita atau keyakinan sedangakan kebohongan adalah ketidaksesuaian realita atau keyakianan.[14]

Adapun Al-Quran menurut penulis adalah kebenaran mutlak, kebenaran dari yang maha Haq, tidak bisa diganggu gugat dan penulis sependapat dengan Muhammad Iqbal yaitu meyakini, meneliti dan menemukan hingga sampai menemukan Yang Hakikat.

5. Kesimpulan

Setelah penulis analisis ayat tersebut dari berbagai aspek penulis ingin menyimpulkannya, menurut analisis penulis makna yang terkandung dalam surat Al-Furqan ayat enam puluh satu di atas adalah bahwa rembulan dan matahari itu mempunyai cahaya sendiri-sendiri hanya saja perbedaanya adalah masalah kapasitasnya kalau matahari itu lebih besar kapasitasnya dibandingan rembulan.

Hal ini memang bertentangan dengan penelitian yang telah ada namun keyakinan penulis adalah sebagaimana yang telah penulis ungkapkan hanya saja belum adanya pembuktian dan kebenaran yang telah berlaku bertahun-tahun perlu diragunan karena menurut Rene Descrates kebenaran adalah keragu-raguan dan ilmu pengetahuan tidak akan berkembang kalau kebenaranya tidak di ragu-ragukan.

Kiranya para ilmuan muslim perlu adanya penelitian lagi mengenai masalah ini tidak menerima begitu saja, bisa jadi penelitian mereka salah. Dan yang terakhir bahwa dalam ayat di atas mengisyaratkan adnya Fa’il yang terdapat dalam kata kerja jaala (pencipta yang Transenden) karena mustahil kalau jagad kosmos ini adalah ada dengan sendirinya, setiap logika yang normal pasti akan menolaknya.

REFERENSI

Al-Quran Al-Karim.

Munawir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawir, Pustaka Progesif:2002.

Anis, Ibrahim dkk, Al-Mu’jam Al-Wasit.

Busyra, Muhtaram, Soraf Praktis, Yogyakarta:Menara Kudus, 2005.

Iqbal, Muhammad, Javid Namah, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2003.

Mustansir Rizal, Munir Misnal, Filsafat Ilmu, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,

2003.

Suriasumantri, Jujun.S, Filsafat Imu, Jakarta:Pustaka Sinar Jaya, 2005.

Assuyuti, Jalaludin, Ibnu Aqil, Surabaya:Darul Abidin.

Al-Ahdari, Abdurrahman, Jauharul Maknun, Semarang:Toha Putra Group.

Grahal, Dhoni Adian. Matinya Metafisika Barat. Jakarta:Komunitas Bambo, 2001.



[1]Ali, Duhroini, Diskusi Bersama, (al-Muhsin: Jogjakarta, 2006).

[2]Munawir Ahmad Warson, Al-Munawir (Pustaka Progesif:2002)

[3]Ibid, halm.1474

[4]Ibid, hal. 624

[5]Ibrahi Anis dkk, Mu’jam Al-Wasit, hlm. 425

[6]Ibid, hlm.961 .

[7]Ibid, hlm.961.

[8]Busyro Muhtaram, Shorof Praktis (Yogyakarta:Menara Kudus, 2003), hlm.23

[9]Ibid, hlm.172

[10]Assuyuti Jalaludin, Ibnu Aqil (Surabaya:Darul Abidin), hlm.24

[11]Ibid, hlm.133

[13]Al-Ahdorri Abdurrahman, Jauharul Maknun (Semarang:Toha Putra), hlm.34

[14]Ibid, hlm.34-35

Tidak ada komentar: