Kamis, 20 November 2008

Kebangkitan

Rahasia diri

Malam ini aku sendirian
Aku benar-benar sendirian
Aku kesepian,
Sesekali aku ingin mengembara melambungkan akal dan jiwa ini,
Menuju planet-planet, bintang-bintang serta kerajaan langit.
Ingin aku mencari HAKIKAT: tentang alam, tentang aku, tentang semesta,
Namun jiwa yang rapuh ini tak mampu berjalan:
Kaki kananya keberatan terbebani dosa,
Kaki kirinya pincang karena nafsu amarah.
Sukma ini ingin mengembara mencari NUR
Tapi………..
Lalu aku amati diri ini, dalam-dalam aku amati diri ini
Tapi tetap saja sepi_kosong,
Dan semakin dalam aku tatap diri ini, semakin sepi, sepi dan sepi…..
Hampir aku kehilangan jejak,
Aku terkapar dalam diriku sendiri
Sukmaku menghilang.
Lalu muncul satu kata dalam diriku:Tuhan.
Dalam sunyinya diri,
Dalam sepinya diri ini,
aku temukan Tuhan,
Tuhan
Tuhan
Tuhan
Indah, Elok, Jamal, Kamal
Dan jiwa ini mulai bermanja-manjaan dan bermesra-mesraan.



Fajar dari Timur

Begitu banyak hujatan Barat terhadap Timur,
Begitu banyak laknat Barat terhadap kita.
Begitu banyak cercaan Barat terhadap Timur,
Begitu banyak ejekan Barat terhadap Kita.
Tuturnya:
Tak usah takut karena kesombongan mereka kawan…,
Jangat larut karena budaya mereka kawan……...,
Kita punya budaya sendiri,
Kita punya hati sendiri,
kita punya akal sendiri
Yang membuat mereka maju bukanlah rambut mereka, bukan pakaian mereka,
Bukan gaya mereka, tapi ilmu pengetahuan dan tegnologi mereka.
Dan tahukah Engkau Kawan…!!!!!
Ilmu pengetahuan bukan milik Jas dan Dasi, bukan milik Si Rambut Perang,
Bukan milik You Can See,
Tapi ilmu pengetahuan juga milik Blangkon, milik Kopiah, milik Kerudung,
Milik Sarung, milik Surjan, milik Kebaya, asal mereka mau.
Barat punya kacamata tapi mereka buta,
Kacamata ilmu pengetahuan mereka membutakan mereka terhadap Tuhan
Kacamata mereka meniadakan Tuhan,
Padahal Kawan.., ilmu pengetahuan adalah bukti Tuhan.
Mantapkan hatimu bersama Tuhan,
Mantapkan hatimu bersama Sarung,
Bersama Blangkon,
Bersama Kerudung
Bersama Surjan
Bersama kebaya
Bersama kopiah
Dan hiasilah mereka dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.


Sajak buat yang mati

Sepercik embun telah menetes dari kepulan Awan
-----------------karena kehendak_NYA.
Karena embun adalah kita,
Dan kepulan awan adalah Sang Pencipta.
Karena kehendak_NYA, embun menetes.
Dan,
Embun akan tersesat karena bercampur dengan air tuba
Dan,
Embun akan kotor karena: dosa, setan, nafsu, dajjal.
Karena mereka, embun tidak bisa melihat pada asalnya,
Karena asalnya Suci, karena asalnya jernih.
Maka embun bisa melihat kembali asalnya,
Dengan keadaan suci dan jernih.
Tuturku:
Janganlah tanah yang membentuk tubuh kita
Mengahalangi kita untuk tahu tentang, hakikat siapa diri kita.
Tapi:
Jangan lupakan tanah liat yang telah menjadi kehendak_NYA.
Tanah liat yang menjadi, tangan, kaki, kepala, organisme.
Karena tanah liat dan bersamanya
Kita bangun dan hiasi dunia
Sebagai wujud cinta kita pada_NYA.






Panggilan cinta

Cinta….!!!!!!!
Masukalah dalam hatiku,
Duduklah dalam singgasana hatiku
Dan pancarkan cahayamu
Hingga jiwa ini tahu akan Tuhanya

Kala cinta duduk dalam singgasana hati
Dan Tuhan Ynag Agung tepat dihadapanya
Apa guna dunia ini,
Surga pun akan ia campakkan.

Jumat, 14 November 2008

HARAPAN


Tuan, beri satu harapan

Mesti racun yang mematikan

Tak mungkin harimau mati dengan kijang

Meski tanduk nan panjang

Aspal jalan hitam nan panjang

Di tengah selalu ada api dan batu yang menghadang

Namun harapan tak kunjung padam

Ketika rembulan di tengah malam yang hitam

Ku, tahu tuan adalah awan

Kesana kemari tanpa ada yang menghadang

Namun hati adalah pedang

Sekali tak terkendali akan mematikan

Mift-Rosy, 2005


ENGKAU

Sebesar inikah cinta yang ada

Atau setinggi langitkah cinta yang tumbuh.

Kita pun tak pernah tahu:

Sebesar debu,

Aatu setinggi langitkah cinta ini.

Kau katakan cinta

Aku jawab. Ya!

Tapi aku selalu mengalah.

Dan kau…….

Jika, kau telah katakan maaf:

Aku mati di situ.

Jogja, 2007


DEBU-DEBU ASMARA

Jika pertemuan pertama adalah cinta

Adakah satu kesempatan tiba

Jika cinta adalah tak ada

Kemanakah debu-debu asmara

Bilakah ada harapan

Mimpi-mimpi adalah yang berdatangan

Bilakah tetesan itu turun ke dalam

Itu adalah nyayian-nyayian malam

Bolehkah dada ini menumpang

Tuk sekedar cerita dongeng

Biarlah bulan nan jauh

Namun hati tetap teduh

Jogja, 2006


RINDU

Kiranya aku harus bagaimana

Cinta yang mengakar sulit tuk diterka

Kadang aku mabuk

Kadang aku sadar

Tuhanku, aku tahu.

Cipta-Mu tak terhitung

Namun aku bingung

Aku mencintainya. Tuhanku

Entah apa yang ada pada dirinya

Aku tersentuh. Entah oleh apa.

Tuhanku aku berseru

Hatiku penuh oleh-Mu

Kuasa-Mu tak terbendung

Maha tahu-Mu tak pernah luput

Tuhanku aku ini mahluk

Pasrahku pada-Mu.

Gembyang, 01-07-2007


AKU

Biarkan aku begini

Aku rela hatiku remuk berkeping-keping

Diriku adalah aku:

Yang egois dan edealis

Jika memang engkau tak suka

Biarkan aku hidup sendiri:

Dengan egois dan idealisku.

Kau tak suka aku begini

Karena caraku ini aneh

Kau maunya biasa

Aku inginya luar biasa

Tapi aku yakin caraku adalah baik

Aku rela hatiku remuk berkeping-keping

Dengan egois dan idealisku

Kalau kau tak suka, tinggalkanlagh aku.

Aku rela hatiku remuk berkeping-keping

Dengan diriku. Aku.

Gembyang, 07-12-2007


MERANA

Kepada siapakah aku harus bicara

Kepada cintakah aku akan terbawa

Tuhan begitu agung dan indah

Tahu akan setiap sesuatu

Kini aku tak punya apa-apa

Cinta yang terendam hanyalah sirna

Jogja, 12-11-2007


ANTARA

Entah kemana ranting dahan kalbuku luluh

Dalam jurang terjal penuh duri

Angin malm semerbak mewangi sekuntum melati

Lembaran kuning tempat aku berteduh

Mencintaimu adalah langit dan bumi

Berkisar antara awan yang berlari-lari

Keributan tiada berhenti

Memutar otak seratus kali lagi

Mencintaimu adalah gelombang tsunami

Hilang sekejap tanpa makna

Kesedihan bertumpu dalam dada

Saat itulah semua harus dipahami

Mift-rosy, 2005


HAKIKAT

Semerbak jua bau harum itu

Lama sudah aku bercanda denganya

Kini aku luluh karenya

Sekian lama berbohong dengan qolbu

Keharuman itu kii nyata dalam dada

Hanya senda gurau dalam imajinasi yang dirasa

Harus kemana aku merujuk keharuman itu

Perhiasan dunia tak cukup untuk diriku

Laksana mutiara di atas batu hitam

Sungguh cahayamu nyata dari kejauhan

Namun tak cukup dilihat dengan mata yang hitam

Mata dalam adalah hakikat penglihatan

Mift-Rosy, 2006


"............."

Tak hanya burung yang tertawa

Rumput dan semut pun tak juga beda

Aku malu pada mereka

Menggapai bulan di saat gelap gulita

Luluh hati ini tak sekedar pada bunga

Namun madu adalah tujuan semata

Berlanjut dari awal yang tak di sangka

Mengingkari adalah benih-benih cinta

Kini bunga telah cukup dewasa

Tak juga madu yang semakin manis tumbuh bersamanya

Semakin jauh gapaian antara kerbau tua dan jalak muda

Hanya memendam yang nikmat dirasa

Mungkin tidur adalah lebih dewasa

Menghilangkan mimpi-mimpi indah tanpa duka

Mift-Rosy, 2005


TAWAKAL

Tawakal aku pada-Mu

Tawakal aku pada-Mu

Aku kini hidup sendiri

Pergi kau dari kehidupanku ini

Biar aku setia di temani

Yang satu dan yang abadi

Meski aku dan engkau saling merindu

Tapi takdir adalah beku

Ridho aku pada-Mu

Gembyang, 2 Syawal 1428 H


Rahim :Kota

Salatiga

Kota prasati

Saksi, dan

Bukti

Salatiga

Dalam rahimu tumbuh sebuah janin,

Janin yang setiap harinya tumbuh:

Semakin besar.

Salatiga

Dalam rahimu kau ajari aku:

Bagaimana hati menangis

Bagaimana angin berbisik

Bagaimana cinta berkarya

Salatiga

Sekarang aku telah lahir

Ajaranmu telah aku pahami:tentang:

Bagaimana hati menangis

Bagaimana angin berbisik

Bagaimana cinta berkarya

Salatiga

Cintaku dan cintamu

adalah karya.

Gembyang, 12 januari 2008.

PETI

“Mas tadi ada yang datang kesini”. “Siapa dek?” sahut pajk Ajik . suaminya. “Pak Tanto dan pak Syukur, tadi mereka kesini nanya mas, tapi karena mas nggak ada trus mereka langsung pergi lagi. Mereka cuma pesan kalau kapan-kapan mereka mau kesini lagi”. Saat itu sak Ajik baru saja pulang dari ladanganya. Ia masih menggunakan pakaian kusus ke ladang. Kotor. Kusut. Dan baunya jelas tak sedap. Pak Ajik kemudian beregegas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badanya, sementara itu istrinya pergi ke dapur menyiapkan minum untuk suami tecintanya.

Pak Ajik sudah selesai mandi. Badanya sudah bersih. Pakainya rapi, menggunakan baju koko dan sarung. Ia duduk di kursi ruang tamu. Tak lama kemudian istrinya datang dengan membawakan secangkir kopi hangat dan makanan ringan ala pedesaan. Istrinya duduk di sampingnya. “Mas, memangnya ada apa, kok tumben-tumbenya pak Tanto dan pak Syukur datang kesini, aku lihat dari raut mukanya, kayaknya mereka ingin menyampaikan pesan yang penting untuk mas. Mereka kelihatanya serius banget”. kata istrinya dengan nada rendah. “Aku juga nggak tahu dek”. jawabnya singkat. “Mas jangan-jangan ada apa-apa dengan kita mas…” “Ah,,kamu ini jangan berpikir yang nggak-nggak”.

Istrinya memijat punggung suaminya, sambil bercanda. Meski dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan keluarga mereka bahagia. Entah rumus apa yang mereka gunakan sehingga mereka dapat sedemikian bahagia meski dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan. Memang kata kebanyakan orang kegahagian itu di ukur dengan harta, sehingga tidak sedikit orang tua yang ketika anak gadisnya di lamar orang tidak segan-segan mereka bertanya pada orang yang datang melamar. Kamu bekerja di mana?berapa penghasilanmu dalam satu bulan?. Banyak orang yang menggunakan kekayaan sebagai ukuran kebahagiaan. Namun bagi pak Ajik dan Istrinya tidak demikian. Bagi mereka Kebahagiaan adalah adanya saling cocok, menerima, dan selalu berusaha. Sudah hampir satu tahun pak Ajik menikah dengan istri tercintanya, namun sampai saat ini mereka masih belum di karuniai momongan.

***************************

Di desa madusari tempat pak Ajik dan Istrinya tinggal, dalam beberapa bulan mendatang desa itu akan mengadakan hajatan besar, yaitu:PILKADES. Suara-suara tentang para jago yang mencalonkan diri sudah mulai terdengar di telinga masyarakat. Penduduk desa sudah mulai bisik-bisik membicarakan perihal pilkades yang akan di laksanakan beberapa bulan lagi. Mereka sudah mulai melihat-lihat serta mengamat-amati calon yang akan menjadi pemimpin mereka. Ada empat calon yang maju sebagai calon kepala desa Madusari. Mereka adalah pak Agus, pak Hani, pak Edi, dan pak Bambang. Mereka punya latar belakang yang berbeda-beda. Ada yang berangkat dari seorang petani. Ada yang berangkat dari pegawai negeri. Ada juga yang berangkat dari seorang preman. Kendati demikian, penduduk desa mempunyai potret masing-masing terhadap para calon pemimpin mereka.

Para botoh[1] dari masing-masing calon mulai mengkampanyekan jujungan mereka. Kampanye yang mereka lakukan untuk mencari masa pendukung bermacam-macam. Ada yang dengan memapangkan foto-foto calon lurah beserta visi dan misi mereka di sepanjang jalan desa. Ada yang dengan strategi dor to dor bagi setiap penduduk desa tersebut. Ada juga dengan cara membagi bagikan kalender dengan di beri figur yang bersangkutan.

Tiga hari kemudian pak Tanto dan pak Syukur datang lagi ke rumah pak Ajik. Kali ini mereka datang dengan raut muka yang cerah, namun tetap saja ada tanda-tanda keseriuasan pada diri mereka. Mereka sampai di depan rumah pak Ajik. Mereka mengetuk pintu. “Kulonuwun………tok..tok..tok..!!!”.[2]

Pak Ajik dan istrinya sedang duduk, bersantai-santai di ruang tengah.

“Dek kayaknya ada yang mengetuk-ngetuk pintu, coba dilihat dek barangkali ada tamu yang datang”. “Baik mas…”.

Kulonuwwun….tok…tok…tok…” Isyarat mereka yang kedua kalinya. “Injih….” .[3] Sahut istri pak Ajik sambil membukakan pintu. “E….pak Tanto sama pak Syukur, monggo pak pinarak mlebet[4] “pak Ajiknya ada?” tanya mereka. “Iya ada, mas Ajik sedang duduk di ruang tengah, monggo pinarak riyen[5]”.

Mereka kemudian masuk kerumah pak Ajik. Duduk di ruang tamu. Tak lama kemudian pak Ajik keluar. Pak Ajik menyambut pak Tanto dan pak Syukur.

“Sampun wau pak..?” [6]sapa pak Ajik.

“Nggih sampun sak wetoro”[7]

Mereka bertiga duduk berhada-hadapan. Pak Tanto dan Pak Syukur duduk berdampingan, sementara pak Ajik duduk di hadapan meraka. Selang berapa waktu istri pak Ajik keluar dengan membawa tiga cangkir kopi dan makanan ringan untuk mereka. Ia letakakn tiga cangkir kopi dan makanan ringan itu di atas meja, kemudian ia mempersilahkan mereka untuk minum dan menyantap makanan ringan tersebut. “Kemarin pak Tanto dan pak Syukur kesini ya? Maaf sekali pak kemarin saya sedang pergi menjenguk keluarga saya yang ada di rumah sakit”. “Iya, tiga hari yang lalu kami kesini tapi karena pak Ajik nggak ada lantas kami langsung pergi lagi”. “kayaknya ada urusan penting ya pak?”. Tanya pak Ajik kepada mereka. Dengan nada halus dan rendah. “Sebenarnya nggak penting-penting amat, tapi juga bisa di bilang cukup penting”. Jawab pak Syukur.

Mereka duduk dengan posisi yang berhadap-hadapan, sehingga pembicaraaan mereka lebih kelihatan nyaman. Di atas meja ada tiga cangkir kopi kental dan makanan ringan. Tak ketinggalan pula sebungkus rokok tujuh enam dan sebatang korek api ikut menemani pembicaraan mereka. “Memangnya ada urusan apa? O..ya..monggo [8]silakan diminum dulu kopinya pak mumpung masih hangat nanti keburu dingin, nggak enak kopi itu kalau dingin. Monngo pak monggo silakan di minum dulu”. Kemudian mereka minum kopi yang masih hangat dan pak Ajik mengambil sebatang rokok tujuh enam. Dengan suara rendah pak Tanto menjawab pertanyaan pak Ajik. ” Itu lho.. pak masalah pilkades”. “O..masalah pilkades, memanganya ada apa dengan pilkades?”. Pak Tanto menghela nafas pelan-pelan. Seakan dia sedang menyusun kata-kata untuk melancarkan pembicaraanya. Wajahnya sedikit tertunduk. Sementara pak Syukur duduk diam tanpa ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutnya. Selanjutnya pak Tanto mulai memebicarakan perihal pilkades. Ia menceritakan satu per satu dari para calon dengan semua latar belakang mereka serta visi dan misi mereka. Agaknya dia lebih berbicara banyak tentang calon lurah pak Edi. Mungkin karena keterbatasan pengetahuanya dengan calon-calon yang lain.

****************************

Sore hari, sekitar jam 16.00. pak Ajik jalan-jalan. Sore itu cuacanya sangat cerah, suasananya sangat indah, dengan panorama alami pedesaan. Pak Ajik jalan-jalan melewati jalan yang ada di desa tersebut. Kebetulan ia melawati salah satu calon lurah yang bakal maju ke kursi panas. Ia melewati rumah pak Edi. Di depan rumah pak Edi ada pak Tanto bersama dengan orang rekanya. Mereka sedang duduk di kursi depan rumah. “Nuwun sewu[9]…”. sapa pak Ajik pada mereka. “Dari mana pak?”. Tanya pak Tanto. “Ini pak sekedar jalan-jalan menikmati sore yang cerah ini”. “Sini pak mampir dulu”. Pak Tanto mencoba mengajaknya mampir. Pak Ajik menerima ajakan pak Tanto. Dengan ucapan salam Ia masuk ke rumah itu. Di rumah ada pak Edi yang sedang duduk sendirian. Seakan sedang memikirkan sesuatu yang amat penting. Kemudian pak Ajik duduk menemaninya. Mereka berdua ngobrol dengan dengan dipenuhi canda tawa. Entah apa yang mereka bicarakan hingga sampai mengundang canda tawa yang begitu hebat. Setelah lama mereka ngobrol kesana kemari, kemudian pak Edi bertanya pada pak Ajik. “Pak, apakah pak Ajik mau membantu saya?”. Ketika itu suasana berubah menjadi hening. Canda dan tawa mereka hilang di makan kata-kata. “Maksud pak Edi saya di suruh bantu tapa?”. Pak Edi mengambil nafas dalam-dalam. Sejenak ia diam, kemudian katanya ”Pak saya tahu bapak ini seorang petani, namun bapak mempunyai pengaruh yang besar di masyarakat, saya mau minta bantuan pak Ajik untuk mengajak masyarakat mendukung saya dalam acara pilkades mendatang”. “Saya cuman orang biasa”. Jawabnya singkat. Kemudian pak Edi menyuruh pak Tanto untuk mengambilkan sebuah peti tua di ruang dalam. “Ini pak petinya” kata pak Tanto singkat sambil meletakkanya di atas meja. Peti itu berukuran 30x20 cm. berwarna cokelat tua dan masih terkunci rapat. “Peti ini untuk mu” kata pak Edi sambil meletakanya di depan pak Ajik.

********************************

Tiga hari sebelum pilkades dilaksanakan suasana desa Madusari sangat ramai, di warnai dengan ketegangan antara kubu yang menjadi calon lurah. Kampanye secara ramai-ramai di laksanakan dalam waktu satu hari secara bergantian. Pak Agus dangan lambang ketelanya pawai mengelilingi desa dengan di iringi arak-arakan para pendukungnya. Dua jam kemudian pendukung pak Hani dengan lambang padi kampanye keliling desa, namun para pendukung pak Hani berkampanye dengan cara yang amat sederhana dan sopan. Tanpa adanya suara-suara lantang yang membumbung tinggi.

Pagi-pagi dua orang pemuda di bawa oleh hansip ke rumah ketua pemuda. Merurut kabar yang beredar di masyarakat terjadi adu jotos di antara mereka. Entah misi apa sehingga mereka sampai adu jotos. Hari berikutnya hampir terjadi lagi perkelahian hebat. Bahkan di antara mereka ada yang membawa golok. Namun berkat jasa keamanan desa dan partisiasi masyarakat akhirnya mereka dapat di leraikan.

Tiba saatnya pilkades di laksanakan. Pilkades itu di laksanakan di balai desa. Warga desa Madusari berbondong-bondong mengunjungi balai desa untuk memilih pemimpin mereka. Setelah pemilihan selesai, pengumuman hasil pemilihan dimulai. Awal perhitungan pak Edi unggul di susul pak Agus, pak Hani kemudian pak Bambang.

Tiba-tiba Seorang ibu berlari-lari dengan nafas terengah-engah menuju ke pos keamanan. Tak lama kemudian terdengar suara ricuh dan suara-suara kotor. Tim keamanan berlari menuju asal suara ricuh tersebut. Suara itu tepat berada di depan balai desa. Adu jotos pun tak bisa dielakan, antara masa pendukung pak Edi dan masa pendukung pak Agus. Suasana semakin memanas ketika seperempat hitungan terakhir. Saat itu pak Hani menempati pososi pertama di susul pak Edi kemudian pak Agus. Kali ini lebih mengerikan. Golok, pedang, sabit menari-nari di udara. Hal tersebut sempat membikin suasana pilkades menjadi kacau. Namun setelah tim keamnan bertindak dan menangkap biang keladinya suasana kembali aman. Dan ternyata biang keladinya adalah pemuda yang pagi-pagi, dua hari sebelum pilkades di laksakan di tangkap hansip karena perkelahian mereka.

Akhir pengumuman suara di menangkan oleh pak Hani. Dengan hanya selisih sepuluh suara dengan pak Edi. Seusai pilihan kepala desa, seperti adat kebiasaan desa tersebut. Orang yang terpilih menjadi kepala desa keliling desa dengan menaiki kuda. Di belakang kuda yang dinaiki oleh kepala desa tersebut, terlihat pak Ajik dengan berkopiah dan mengunakan celana hitam. Ia kelihatan bahagia, entah mengapa ia kelihatan bahagia.

*********************************

Siang hari. Dua hari setelah pilkades dilaksanakan. Ada keramaian di rumah pak Edi. Terjadi adu mulut antara pak Edi dan pak Tanto sehingga membuat gempar tetangga mereka. Tetangga rumahnya mendatangi rumah pak Edi untuk menyaksikan apa yang tengah terjadi. Para tetangga mencoba melaraikan mereka namun mereka tidak mampu. Bahkan malah semakin seru. Pak Ajik yang baru pulang dari ladangnya, melihat hal tersebut, ia mendekat dan juga mencoba meleraikan mereka namun tetap saja tidak bisa. Mungkin setan-setan dari neraka tengah merasuki jiwa mereka. “Katanya kamu ingin memberikan peti itu padaku setelah acara pilkades selesai” kata pak Tanto dengan nada tinggi dan muka memerah. “Siapa bilang aku ingin memberikan peti itu padamu?” sahut pak Edi tegas.”Dasar pembohong……….”kata pak Tanto singkat. Di ruang dalam. Terdengar suara benda jatuh ke lantai. “Petiku…….!!!” teriak pak Edi sambil berlari kedalam. Di belakang pak Edi ada pak Tanto dan para tetangga.

Peti itu terbuka dan apa yang ada didalamnya keluar semua. Para tetangga tercengeng melihat uang ratusan ribu terhampar di atas lantai. “Inilah …BANGSAKU” bisik pak Ajik dalam hati.



[1] Pendukung yang menjadi tangan kanan

[2] Permisi

[3] Ya

[4] Mari silahkan masuk

[5] Silahkan duduk dulu

[6] Sudah lama pak

[7] Ya sudah lumayan lama

[8] Silahklan

[9] pemisi

cerpen2 n puisi@Rumi

KHIDIR

Hujan deras mengguyur. ungai-sungai di bawah perbukitan mengalir dengan deras, air yang bercampur tanah membawa sampah dan potongan-potongan kayu ke arah yang tak menentu, selokan-selokan di lerweng perbukitan teraliri air berwarna cokelat tua akibat gundulnya hutan di perbukitan itu, pohon-pohion besar tinggal sedikit. Laki-laki setengah baya masih berteduh di gubuk yang berada di bawah lereng bukit, dengan balutan pakaian kusut laki-laki setengah baya itu masih duduk sambil memikirkan sesuatu yang ada di benaknya. Hujan yang turun dengan deras membawa udara dingin dan kabut tebal, dinginya udara membuat kulit laki-laki itu menggigil sehinga dia bereusasha membuat api dari potongan-potongan kayu yang berada di dalam gubuk itu, api menyala dengan besar kemudian ia memasukan sebatang ketela pohon ke dalam bara api itu.

Setelah hujan berhenti, laki-laki itu keluar dari gubuk kemudian melihat kanan-kirinya disertai dengan perasaan bingung entah kemana ia akan melangkahkan kakinya, ketika itu matahari hampir menutup matanya dan kabut tebal masih menyelimuti lereng bukit itu, tatapan matanya mengarah ke suatu tempat yang berada di sebelah bukit itu, ia berjalan mengikuti tatapan matanya itu. Setelah satu kilo ia berjalan ia melihat ada sebuah perkampungan yang sepi, ia berjalan ke perkampungan itu sambil membawa sesuatu yang menempel di punggungnya.

Sesampainya di kampung itu ia melihat orang tua yang sedang berjalan pelan-pelan karena kakinya yang sudah tidak kuat lagi akibat dimakan usia, laki-laki setengah baya itu kemudian menghampirinya seraya mengucapkan salam dan menjabat tanganya “assalamualaikum” sapa laki-laki itu “waalaikum salam, kisanak siapa dan mau kemana?”suaranya lirih dan sedikit terpatah-patah “saya musafir pak……dan saya tak tahu entah kemana saya akan berjalan, kalau boleh tanya apa disini ada mushola pak?” “kisanak mau ke mushola,? kebetulan saya juga mau kesana mau melaksanakan sholat Magrib, kalau kisanak mau ke Mushola ikuti saja saya” mereka bersama-sama berjalan ke mushola.”Nak kita sudah sampai di mushola” orang tua itu memberi tahu laki-laki sertengah baya itu, laki-laki itu sedikit kebingungan mushola yang ada di depanya itu kurang begitu ramai, bangunanya tua dan motifnya sama sekali tidak menampakan sebuah mushola, ia agak sedikit meragukan musola itu “Nak jamaah akan segera dimulai sebaiknya kisanak segera berwudhu agar tidak ketinggalan jamaahnya”saran orang tua itu sambil mengacungkan tanganya kearah tempat wudhu, dengan segera laki-laki itu menuju tempat wudhu.

Suara iqomat berkumandang memenuhi ruangan mushola, jamaah segera menempatkan diri di masing-masing sofnya, jamaah semuanya adalah laki-laki yang terdiri dari golongan muda, setengah baya, dan tua, kemudian suara takbir berkumandang”Allah….u akbar”suasananya sangat hening, tak ada satu suarapun kecuali alunan surah Al-Fatihah yang di alunkan oleh sang imam, suaranya merdu dan fasih sehingga membuat jamaah lebih kushuk dan hening, selesainya membaca Fatihah imam membaca surat Al-Asr”Walasri innalinsana lafi khusrin illalladzina amanu waamilussolihati watawa shoubilhaqqi watawasoubissobr”.

Sholat Magrib selesai dilaksanakan, para jamaah ada yang pulang ke rumah masing-masing dan ada yang masih dzikir di dalam musola sambil menanti datangnya sholat Isya, laki-laki setengah baya itu melihat orang tua yang ia temuia sore itu masih duduk bersila di dalam musola sambil memutar tasbihny. Laki-laki itu keluar dari musola untuk mencari udara segar dan melepas lelah setelah perjalanan panjangnya, setengah jam kemudian suara adzan berkumandang menandakan telah datang waktu Isya, orang-orang berdatangan ke mushola untuk melaksanakan sholat Isyak berjamaah.

Setelah sholat Isya selesai dilaksanakan laki-laki setengah baya itu duduk di serambi musola, orang tua yang ia temui di jalan itu keluar paling terakhir kemudian ia mmenghampiri laki-laki itu “Nak hari sudah malam mari istirahat di rumah saya saja disini dingin dan banyak nyamuknya” “Terimakasih pak , saya tidur disini saja “ jawab laki-laki itu dengan suara rendah, tanpa mengulang ajakanya orang tua itu langsung pergi meninggalkanya, laki-laki itu sempat terkagum setelah sesaat ia menolehkan pandanganya dari orang tuaa itu, orang tua itu langsung lenyap jejaknyapun tidak di ketahui, seakan orang tua itu menghilang. Laki-laki itu memalingkan tubuhnya dan tidur dengan pulas meski nyamuk silih berganti berdatangan untuk menyantap darah segarnya.

Matahari telah muncul dari ufuk timur, orang-oramg di kampung itu berjalan menuju ladang mereka dengan membawa sabit, cangkul dan peralatan lain untuk mengolah tanahnya. Hujan yang turun sore itu membuat jalan yang dilewati mereka kotor dan banyak batu-batu kecil yang tercecer di jalan, leleki setengah baya itu sedikat kelihatan bingung kemana ia akan melangkahkan kakinya, beberapa saat ia termenung. Ia melangkahkan kakinya ke arah perbukitan yang berada di sebelah selatan desa jalan setapak di lereng perbukitan ia lewati, saat itu jalan masih licin sisa-sisa air hujan sore itu masih menggenang di sepanjang jalan sehingga di perlukan kehati-hatian yang sangat untuk melewati jalan itu, karena jika jatuh dari tebing maka maut yang akan menjemput, daerah itu sepi hanya beberapa orang yang lewat disana sesampainya di atas tebing laki-lakin itu menegok ke kanan kirinya hatinya berkeyakinan untuk melangkahkan kakinya ke arah timur.

Sengatan matahari begitu menyaetuh kulit, hujan keringat tidak bisa lagi dibendung selembar pakaian yang ia pakai basah kuyuk oleh keringatnya, rasa dahaga sangat terasa sampai-sampai membakar kerongkonganya. Laki-laki itu masih tetap berjalan ke arah timur melewati jalan kecil yang berada di daerah yang terjal, sebotol air yang ia ikatkan di pinggangnya ia ambil kemudian berhenti duduk bersandarkan batu besar, seteguk demi seteguk ia minum air yang ia ambil dari desa itu. Masih dalam posisi duduk laki-laki itu termenung ia melihat-lihat hamparan yang luas yang berada di kanan kirinya sambil mengucapkan sesuatu, entah apa yang ia ucapkan.

Setengah hari ia berjalan, ia melihat ada rumah kecil yang berada di tengah hamparan luas, rumah itu berdiri sendiri tak ada bekas perkampungan di sana ia berjalan menuju rumah itu di depan pintu rumah itu ia sedikit tercengeng rumah itu kelihatan sedikit aneh, motif bangunanya mirip sekali dengan musola-musola kuno dan yang lebih aneh lagi di atas pintu rumah terdapat kaligrafi arab yang bertulis “LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMADURROSULULLAH” sesaat dalam kecengengan ia kemudian mengetuk pintu sambil mengucapkan salam namun tak ada seorang pun yang menjawab ia mengulanginya sampai tiga kali namun tetap saja gak ada jawaban, karena tak ada jawaban ia memalingkan tubuhnya dengan maksud pergi dari tempat itu akan tetapi seketika itu pintu serta-merta terbuka dengan sendirinya dan tak ada seorangpun di dalam rumah itu , ia sedikit ketakutan bulu lehernya berdiri semuanya dalam perasaan takut ia memberanikan diri melihat-lihat kedalam rumah iut R.rumah itu hanya terdiri dari satu ruangan saja dan satu lubang ventilasi udara ruanganya bersih tak terlihat satu kotoranpun di sana. Ia masuk ke rumah itu sambil melihat-lihat dinding bangunanya, ketika pandanganya tertuju ke arah barat laut, seketika ia kagum dan tercengeng ketika ia melihat sajadah yang terkapar di atas lantai dan sebuah tasbih yang melingkar di atasnya ia dekati sajadah itu sajadah itu mirip sekali dengan sajadah yang di pakai orang tua yang ia temui di kampung sore itu, tak juga dengan tasbih yang melingkar di atasnya warna dan bentuknya persis dengan tasbih yang di pakai orang tua itu ketika berdzikir. Namun tak ada bukti keberadaan orang itu di sana, rumah itu di tengah hamparan luas jauh sekali dengan permukiman penduduk.

Ketika itu waktu Dzuhur telah tiba laki-laki itu kemudian bertayamum dan melaksanakan sholat Dzuhur. Ia keluar dari rumah itu dan melanjutkan perjalananya, dengan berbekal sebotol air putih yang ia gantungkan di pinggangnya. Laki-laki itu terus berjalan melewati hamparan luas dan sepi, terlihat di sana batu-batu besar dan pohon-pohon yang ada di kanan kiri jalan. Kicau burung menggema menemani perjalananya, panas matahari tidak ia hiraukan, ia terus berjalan. Setelah melawati jalan panjang laki-laki itu sampai di tepi sungai besar, tubuhnya kotor sekali, ia turun ke sungai membersihkan tubuhnya dan mengambil air wudhu kemudian istirahat dengan bersandarkan batu bersar yang berada di pinggir sungai itu. Laki-laki itu terdidur bersandarkan batu besar, lama ia tertidur, percikan air sungai mengenai wajahnya sehingga laki-laki itu terbangun dari tidurnya, saat matanya terbuka matahari sudah tidak tampak lagi, tempat itu menjadi gelap gulita tak ada seberkas cahaya yang terpancar di sana, laki-laki itu tidak lagi meneruskan perjalanya karena jalan sangat gelap sekali akhirnya ia menggelar sarung sebagai alas tidur, udara dinginpun tak bisa di hindari laki-laki itu membuat api dari potongan potongan kayu kecil yang telah mengering yang berada di pinggir sungai itu. “Assalamualaikum….kisanak”suaranya rendah dan penuh wibawa orang tua berpakaian putih bersih datang mendekati laki-laki setengah baya itu, mata laki-laki itu sudah sedikit redup ia masih gegeni dan bersandar batu, mendengar suara salam laki-laki itu kagum matanya pun kembali terang “Assalamualaikum….kisanak…..”orang tua itu mengulanginya “Waalaikumsalam”jawab laki-laki itu di iringi rasa takut, detak jantungnya berdebar dengan keras, bulu lehernya berdiri semuanya, orang tua itu bertanya”kisanak…… boleh saya numpang menghanatkan tubuh?” ” Boleh,,boleh,,,,bapak siapa?”balas laki-laki itu, suaranya tersendat-sedat “Gak usah takut kisanak, saya gak bermaksud jahat kebetulan saya tadi lewat jalan di sebelah itu dan saya melihat ada api di sini kemudian saya datang kemari karena tubuh saya kedinginan” laki-laki itu menatap tajam wajah orang tua itu seakan-akan ia pernah melihat wajah orang tua itu dalam hatinya ia bergumam orang tua ini persis dengan orang tua tuam yang saya temui sore lalu di kampung itu, ia masih teringat wajah orang tua itu dan orang yang sedang ada di depanya itu persis dengan orang tua yang ia temui sore itu, suaranya pun persis sekali hanya saja pakaianya yang berbeda tapi ia bingung mengapa ia disisni?mengapa dia tidak mengenaliku?. “Kisanak siapa dan mau kemana?” tanya orang tua itu “E….saya musafir, saya gak tau kemana saya akan melangkahkan kakiku ini” jawabnya, “Trus apa yang kisanak cari?” “Saya pingin menemukan jati diri saya hidup di dunia ini”laki-laki itu menjawab dengan suara rendah. Orang tua itu kemudian berdiri mengambil sebatang kayu yang berada di sebelahnya kemudian duduk lagi. “Kalau boleh tahu bapak siapa ya?”tanya laki-laki itu , namun ia tidak menjawab pertanyaan laki-laki itu, oarang tua itu kemudian berkata dengan suara yang penuh wibawa”Kisanak…, hidup di dunia ini gak lama laksana orang yang mampir minum, sangat rugi orang-orang yang tidak memanfaatkan waktunya untuk beriman kepada Allah, beramal soleh, dan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran” laki-laki setengah baya itu semakin kagum dan diam tanpa ada satu katapun yang keluar dari mulutnya, pandanganya menunduk sambil meresapi kata-kata orang tua itu, hatinya luluh tubuhnyapun terasa lemas namun hatinya terasa terang. Ketika laki-laki itu mengangkat wajahnya dan berusaha menatap wajah orang tua itu seketika orang tua itu telah tiada, entah kemana ia pergi tak ada jejak dalam kepergianya namun bayang-bayang orang tua itu masih tersimpan dalam benaknya, laki-laki itu memanggil-manggil orang tua itu dengan suara lantang sambil mondar-mandir kesana-kemari namun tak ada satu jawabanpun yang menggema di telinganya, ia pun mengulang-ulangi panggilanya “Pak..!bapak…! sebenarnya bapak siapa?”namun hasilnya tetap sama tak ada sepatahkatapun yang hadir.

Jam tengah menunjukan pukul 03.30 pagi. “Mas…mas….! Bangun mas, sudah jam setengah tiga, mari kita sholat tahajud ”perempuan itu berusaha memebangunkan suaminya. Seketika suaminya langsung bangkit dari tidurnya, ia teringat dengan mimpi yang baru saja terjadi dan ia langsung berteriak mengucapkan tahmid”Alhaduliilahi robbil alamin…”suaranya keras, istrinyapun bingung gerangan apa yang terjadi dengan suaminya sehingga dia harus mengucapkan tahmid dengan keras padahal tak biasanya ia bertingkah seperti itu wajahnya pun terlihat menampakan kegembiraan, “Dek….., Khidir dek…, Khidir..”ujar suaminya,”Maksud mas apa kok Khidir, Khidir..” istrinya menyahut ucapan suaminya karena ia merasa bingung dan tidak faham dengan apa yang di katakan suaminya. Sang suami teringat dengan mimpinya, dalam mimpinya ia bertemu dengan orang tua, ia teringat ketika ia pertama kali bertemu dengan orang tua itu ketika ia ingin pergi ke mushola ia mengucapkan salam sambil menjabat tanganya dan ketika menjabat tanganya, ia teringat ibu jarinya tidak bertulang, “Dek mas baru saja mimpi bertemu dengan nabi Khidir” laki-laki itu memberi tahu istrinya. Kemudian mereka mengambil air wudhu dan bersama-sama sujud memahasucikan Yang Maha Abadi