Jumat, 14 November 2008

PETI

“Mas tadi ada yang datang kesini”. “Siapa dek?” sahut pajk Ajik . suaminya. “Pak Tanto dan pak Syukur, tadi mereka kesini nanya mas, tapi karena mas nggak ada trus mereka langsung pergi lagi. Mereka cuma pesan kalau kapan-kapan mereka mau kesini lagi”. Saat itu sak Ajik baru saja pulang dari ladanganya. Ia masih menggunakan pakaian kusus ke ladang. Kotor. Kusut. Dan baunya jelas tak sedap. Pak Ajik kemudian beregegas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badanya, sementara itu istrinya pergi ke dapur menyiapkan minum untuk suami tecintanya.

Pak Ajik sudah selesai mandi. Badanya sudah bersih. Pakainya rapi, menggunakan baju koko dan sarung. Ia duduk di kursi ruang tamu. Tak lama kemudian istrinya datang dengan membawakan secangkir kopi hangat dan makanan ringan ala pedesaan. Istrinya duduk di sampingnya. “Mas, memangnya ada apa, kok tumben-tumbenya pak Tanto dan pak Syukur datang kesini, aku lihat dari raut mukanya, kayaknya mereka ingin menyampaikan pesan yang penting untuk mas. Mereka kelihatanya serius banget”. kata istrinya dengan nada rendah. “Aku juga nggak tahu dek”. jawabnya singkat. “Mas jangan-jangan ada apa-apa dengan kita mas…” “Ah,,kamu ini jangan berpikir yang nggak-nggak”.

Istrinya memijat punggung suaminya, sambil bercanda. Meski dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan keluarga mereka bahagia. Entah rumus apa yang mereka gunakan sehingga mereka dapat sedemikian bahagia meski dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan. Memang kata kebanyakan orang kegahagian itu di ukur dengan harta, sehingga tidak sedikit orang tua yang ketika anak gadisnya di lamar orang tidak segan-segan mereka bertanya pada orang yang datang melamar. Kamu bekerja di mana?berapa penghasilanmu dalam satu bulan?. Banyak orang yang menggunakan kekayaan sebagai ukuran kebahagiaan. Namun bagi pak Ajik dan Istrinya tidak demikian. Bagi mereka Kebahagiaan adalah adanya saling cocok, menerima, dan selalu berusaha. Sudah hampir satu tahun pak Ajik menikah dengan istri tercintanya, namun sampai saat ini mereka masih belum di karuniai momongan.

***************************

Di desa madusari tempat pak Ajik dan Istrinya tinggal, dalam beberapa bulan mendatang desa itu akan mengadakan hajatan besar, yaitu:PILKADES. Suara-suara tentang para jago yang mencalonkan diri sudah mulai terdengar di telinga masyarakat. Penduduk desa sudah mulai bisik-bisik membicarakan perihal pilkades yang akan di laksanakan beberapa bulan lagi. Mereka sudah mulai melihat-lihat serta mengamat-amati calon yang akan menjadi pemimpin mereka. Ada empat calon yang maju sebagai calon kepala desa Madusari. Mereka adalah pak Agus, pak Hani, pak Edi, dan pak Bambang. Mereka punya latar belakang yang berbeda-beda. Ada yang berangkat dari seorang petani. Ada yang berangkat dari pegawai negeri. Ada juga yang berangkat dari seorang preman. Kendati demikian, penduduk desa mempunyai potret masing-masing terhadap para calon pemimpin mereka.

Para botoh[1] dari masing-masing calon mulai mengkampanyekan jujungan mereka. Kampanye yang mereka lakukan untuk mencari masa pendukung bermacam-macam. Ada yang dengan memapangkan foto-foto calon lurah beserta visi dan misi mereka di sepanjang jalan desa. Ada yang dengan strategi dor to dor bagi setiap penduduk desa tersebut. Ada juga dengan cara membagi bagikan kalender dengan di beri figur yang bersangkutan.

Tiga hari kemudian pak Tanto dan pak Syukur datang lagi ke rumah pak Ajik. Kali ini mereka datang dengan raut muka yang cerah, namun tetap saja ada tanda-tanda keseriuasan pada diri mereka. Mereka sampai di depan rumah pak Ajik. Mereka mengetuk pintu. “Kulonuwun………tok..tok..tok..!!!”.[2]

Pak Ajik dan istrinya sedang duduk, bersantai-santai di ruang tengah.

“Dek kayaknya ada yang mengetuk-ngetuk pintu, coba dilihat dek barangkali ada tamu yang datang”. “Baik mas…”.

Kulonuwwun….tok…tok…tok…” Isyarat mereka yang kedua kalinya. “Injih….” .[3] Sahut istri pak Ajik sambil membukakan pintu. “E….pak Tanto sama pak Syukur, monggo pak pinarak mlebet[4] “pak Ajiknya ada?” tanya mereka. “Iya ada, mas Ajik sedang duduk di ruang tengah, monggo pinarak riyen[5]”.

Mereka kemudian masuk kerumah pak Ajik. Duduk di ruang tamu. Tak lama kemudian pak Ajik keluar. Pak Ajik menyambut pak Tanto dan pak Syukur.

“Sampun wau pak..?” [6]sapa pak Ajik.

“Nggih sampun sak wetoro”[7]

Mereka bertiga duduk berhada-hadapan. Pak Tanto dan Pak Syukur duduk berdampingan, sementara pak Ajik duduk di hadapan meraka. Selang berapa waktu istri pak Ajik keluar dengan membawa tiga cangkir kopi dan makanan ringan untuk mereka. Ia letakakn tiga cangkir kopi dan makanan ringan itu di atas meja, kemudian ia mempersilahkan mereka untuk minum dan menyantap makanan ringan tersebut. “Kemarin pak Tanto dan pak Syukur kesini ya? Maaf sekali pak kemarin saya sedang pergi menjenguk keluarga saya yang ada di rumah sakit”. “Iya, tiga hari yang lalu kami kesini tapi karena pak Ajik nggak ada lantas kami langsung pergi lagi”. “kayaknya ada urusan penting ya pak?”. Tanya pak Ajik kepada mereka. Dengan nada halus dan rendah. “Sebenarnya nggak penting-penting amat, tapi juga bisa di bilang cukup penting”. Jawab pak Syukur.

Mereka duduk dengan posisi yang berhadap-hadapan, sehingga pembicaraaan mereka lebih kelihatan nyaman. Di atas meja ada tiga cangkir kopi kental dan makanan ringan. Tak ketinggalan pula sebungkus rokok tujuh enam dan sebatang korek api ikut menemani pembicaraan mereka. “Memangnya ada urusan apa? O..ya..monggo [8]silakan diminum dulu kopinya pak mumpung masih hangat nanti keburu dingin, nggak enak kopi itu kalau dingin. Monngo pak monggo silakan di minum dulu”. Kemudian mereka minum kopi yang masih hangat dan pak Ajik mengambil sebatang rokok tujuh enam. Dengan suara rendah pak Tanto menjawab pertanyaan pak Ajik. ” Itu lho.. pak masalah pilkades”. “O..masalah pilkades, memanganya ada apa dengan pilkades?”. Pak Tanto menghela nafas pelan-pelan. Seakan dia sedang menyusun kata-kata untuk melancarkan pembicaraanya. Wajahnya sedikit tertunduk. Sementara pak Syukur duduk diam tanpa ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutnya. Selanjutnya pak Tanto mulai memebicarakan perihal pilkades. Ia menceritakan satu per satu dari para calon dengan semua latar belakang mereka serta visi dan misi mereka. Agaknya dia lebih berbicara banyak tentang calon lurah pak Edi. Mungkin karena keterbatasan pengetahuanya dengan calon-calon yang lain.

****************************

Sore hari, sekitar jam 16.00. pak Ajik jalan-jalan. Sore itu cuacanya sangat cerah, suasananya sangat indah, dengan panorama alami pedesaan. Pak Ajik jalan-jalan melewati jalan yang ada di desa tersebut. Kebetulan ia melawati salah satu calon lurah yang bakal maju ke kursi panas. Ia melewati rumah pak Edi. Di depan rumah pak Edi ada pak Tanto bersama dengan orang rekanya. Mereka sedang duduk di kursi depan rumah. “Nuwun sewu[9]…”. sapa pak Ajik pada mereka. “Dari mana pak?”. Tanya pak Tanto. “Ini pak sekedar jalan-jalan menikmati sore yang cerah ini”. “Sini pak mampir dulu”. Pak Tanto mencoba mengajaknya mampir. Pak Ajik menerima ajakan pak Tanto. Dengan ucapan salam Ia masuk ke rumah itu. Di rumah ada pak Edi yang sedang duduk sendirian. Seakan sedang memikirkan sesuatu yang amat penting. Kemudian pak Ajik duduk menemaninya. Mereka berdua ngobrol dengan dengan dipenuhi canda tawa. Entah apa yang mereka bicarakan hingga sampai mengundang canda tawa yang begitu hebat. Setelah lama mereka ngobrol kesana kemari, kemudian pak Edi bertanya pada pak Ajik. “Pak, apakah pak Ajik mau membantu saya?”. Ketika itu suasana berubah menjadi hening. Canda dan tawa mereka hilang di makan kata-kata. “Maksud pak Edi saya di suruh bantu tapa?”. Pak Edi mengambil nafas dalam-dalam. Sejenak ia diam, kemudian katanya ”Pak saya tahu bapak ini seorang petani, namun bapak mempunyai pengaruh yang besar di masyarakat, saya mau minta bantuan pak Ajik untuk mengajak masyarakat mendukung saya dalam acara pilkades mendatang”. “Saya cuman orang biasa”. Jawabnya singkat. Kemudian pak Edi menyuruh pak Tanto untuk mengambilkan sebuah peti tua di ruang dalam. “Ini pak petinya” kata pak Tanto singkat sambil meletakkanya di atas meja. Peti itu berukuran 30x20 cm. berwarna cokelat tua dan masih terkunci rapat. “Peti ini untuk mu” kata pak Edi sambil meletakanya di depan pak Ajik.

********************************

Tiga hari sebelum pilkades dilaksanakan suasana desa Madusari sangat ramai, di warnai dengan ketegangan antara kubu yang menjadi calon lurah. Kampanye secara ramai-ramai di laksanakan dalam waktu satu hari secara bergantian. Pak Agus dangan lambang ketelanya pawai mengelilingi desa dengan di iringi arak-arakan para pendukungnya. Dua jam kemudian pendukung pak Hani dengan lambang padi kampanye keliling desa, namun para pendukung pak Hani berkampanye dengan cara yang amat sederhana dan sopan. Tanpa adanya suara-suara lantang yang membumbung tinggi.

Pagi-pagi dua orang pemuda di bawa oleh hansip ke rumah ketua pemuda. Merurut kabar yang beredar di masyarakat terjadi adu jotos di antara mereka. Entah misi apa sehingga mereka sampai adu jotos. Hari berikutnya hampir terjadi lagi perkelahian hebat. Bahkan di antara mereka ada yang membawa golok. Namun berkat jasa keamanan desa dan partisiasi masyarakat akhirnya mereka dapat di leraikan.

Tiba saatnya pilkades di laksanakan. Pilkades itu di laksanakan di balai desa. Warga desa Madusari berbondong-bondong mengunjungi balai desa untuk memilih pemimpin mereka. Setelah pemilihan selesai, pengumuman hasil pemilihan dimulai. Awal perhitungan pak Edi unggul di susul pak Agus, pak Hani kemudian pak Bambang.

Tiba-tiba Seorang ibu berlari-lari dengan nafas terengah-engah menuju ke pos keamanan. Tak lama kemudian terdengar suara ricuh dan suara-suara kotor. Tim keamanan berlari menuju asal suara ricuh tersebut. Suara itu tepat berada di depan balai desa. Adu jotos pun tak bisa dielakan, antara masa pendukung pak Edi dan masa pendukung pak Agus. Suasana semakin memanas ketika seperempat hitungan terakhir. Saat itu pak Hani menempati pososi pertama di susul pak Edi kemudian pak Agus. Kali ini lebih mengerikan. Golok, pedang, sabit menari-nari di udara. Hal tersebut sempat membikin suasana pilkades menjadi kacau. Namun setelah tim keamnan bertindak dan menangkap biang keladinya suasana kembali aman. Dan ternyata biang keladinya adalah pemuda yang pagi-pagi, dua hari sebelum pilkades di laksakan di tangkap hansip karena perkelahian mereka.

Akhir pengumuman suara di menangkan oleh pak Hani. Dengan hanya selisih sepuluh suara dengan pak Edi. Seusai pilihan kepala desa, seperti adat kebiasaan desa tersebut. Orang yang terpilih menjadi kepala desa keliling desa dengan menaiki kuda. Di belakang kuda yang dinaiki oleh kepala desa tersebut, terlihat pak Ajik dengan berkopiah dan mengunakan celana hitam. Ia kelihatan bahagia, entah mengapa ia kelihatan bahagia.

*********************************

Siang hari. Dua hari setelah pilkades dilaksanakan. Ada keramaian di rumah pak Edi. Terjadi adu mulut antara pak Edi dan pak Tanto sehingga membuat gempar tetangga mereka. Tetangga rumahnya mendatangi rumah pak Edi untuk menyaksikan apa yang tengah terjadi. Para tetangga mencoba melaraikan mereka namun mereka tidak mampu. Bahkan malah semakin seru. Pak Ajik yang baru pulang dari ladangnya, melihat hal tersebut, ia mendekat dan juga mencoba meleraikan mereka namun tetap saja tidak bisa. Mungkin setan-setan dari neraka tengah merasuki jiwa mereka. “Katanya kamu ingin memberikan peti itu padaku setelah acara pilkades selesai” kata pak Tanto dengan nada tinggi dan muka memerah. “Siapa bilang aku ingin memberikan peti itu padamu?” sahut pak Edi tegas.”Dasar pembohong……….”kata pak Tanto singkat. Di ruang dalam. Terdengar suara benda jatuh ke lantai. “Petiku…….!!!” teriak pak Edi sambil berlari kedalam. Di belakang pak Edi ada pak Tanto dan para tetangga.

Peti itu terbuka dan apa yang ada didalamnya keluar semua. Para tetangga tercengeng melihat uang ratusan ribu terhampar di atas lantai. “Inilah …BANGSAKU” bisik pak Ajik dalam hati.



[1] Pendukung yang menjadi tangan kanan

[2] Permisi

[3] Ya

[4] Mari silahkan masuk

[5] Silahkan duduk dulu

[6] Sudah lama pak

[7] Ya sudah lumayan lama

[8] Silahklan

[9] pemisi

Tidak ada komentar: